Selasa, Juni 28, 2011
Aku dan Keputusanku
Sore ini kakiku terasa kaku. mungkin aku berjalan terlalu jauh, ku tengok lagi jalanan yang sudah aku lewati. benar! ak terlalu jauh dari rumah, tapi aku tak mungkin kembali ke jalan itu. aku harus pergi, dan aku akan kembali dengan membawa pembuktian harus diakui oleh mereka. Mereka yang notabeneya orang tuaku! Aku tak menyalahkan mereka berbuat seperti itu, ini semua karena kami miskin. Bukan aku tak terima dengan kemiskinan tapi aku bosan, kemiskinan ini sudah mengerak dalam garis keturunan keluargaku tepatnya sejak nenek buyutku yang bangkrut dengan usaha kayu miliknya. Kini waktunya aku memperbaiki semuanya!
Tettt! Suara klakson bus umum mengagetkanku, spontan aku langsung naik dan mencari tempat duduk yang nyaman untuk sampai di tempat kost temanku. Aku udah janjian sama dia, namanya Sari sahabatku sejak SMP. Tiga puluh menit aku telah sampai di mulut gang tempat kostnya, dengan modal selembar kertas di saku baju sekolahku aku mencari alamat yang tertera.
“hey yen! Disini. Ayo masuk.”
“hey! Aduh makasih yaa! Aku jadi ngerpotin. Aku boleh langsung mandi nggak? Seharian di jalanan.”
“iyaa di sebelah sini kamar mandinya, kalo udah langsung tidur aja yaa! Terlalu larut. Besok pagi-pagi aku ajak kamu ke tempat aku kerja!”
“ iyaa Sar, makasii lagi yaa?” Sari hanya mengangguk lantas kembali ke tempat tidurnya. Beberapa menit kemudian aku menyusul sari menuju alam mimpi.
Cahaya matahari menyengat mataku yang masih tertutup rapat di atas kasur Sari. Kulihat dia membuka gorden usang yang menggantung di sisi kamarnya sambil membenahi baju kerjanya. Dia meminjamiku kemejanya untuk melamar pekerjaan hari ini. Bismilahirohmanirrohim! Aku berjalan di belakang Sari menuju tempat kerjanya. Namun hasilnya tidak seperti yang ku mau, lamaranku ditolak. Sari mencoba menenangkanku, tapi aku menyuruhnya tetap bekerja dan aku kembali ke tempat kostnya. Di tengah perjalanan, sebuah pohon rindang di taman kota menarik hatiku untuk duduk dibawahnya dan mencurahkan isi hati padanya. Baru saja aku duduk di bangku usang itu, seorang pria bongsor menghampiriku kemudian bertanya sedang apa aku disini. Setelah ngobrol agak lama, dia menawarkan pekerjaan yang menghasilkan uang banyak, aku curiga tapi hanya mengangguk saja. Ia menarik tanganku dan mengajakku ke tempat dia bekerja.
Seperti yang kuduga, tempat prostitusi! Meskipun aku membutuhkan uang tapi aku tidak mungkin melakukan pekerjaan haram itu. Ya allah! Bagaimana caranya aku lari dan menolak pria ini? Tangannya mencengkeram keras pergelanganku ketika aku ingin lari. Tapi tiba-tiba seorang pengamen menggeprak gitar kecilnya pada lelaki itu!
“hey, pak tua! Dia tak ingin ke tempat ini, Biarkan dia pergi!”
“diam anak kecil!” kata pak tua itu geram!
Pengamen kecil itu melempar karung sampah ke arah mukanya, aku terlepas dan berlari bersama pengamen kecil itu. Alhamdulilah! Aku selamat, ternyata kehidupan di kota besar seperti ini begitu berat. Aku berterima kasih padanya dan langsung kembali ke tempat kost Sari. Setelah mandi aku merenung, pikiranku melayang memikirkan Bapak Ibu yang pasti bingung mencariku. Maafkan aku Pak Bu! Aku pergi dari rumah, aku bosan dengan kemiskinan keluarga kita. Aku sakit ketika calon suami yang kalian pilihkan untukku ternyata memandang rendah keluarga kita. Aku tak mau di hina dan dipandang rendah, meskipun kita orang miskin. Aaaaaarrrggghhhh! Kubenamkan kepalaku didalam bantal sambil berteriak mengeluarkan beban pikiran, aku menangis sampai tertidur telungkap dengan kepala menghadap bantal. Tanpa kusadari Sari sudah berada disampingku dan membawa dua nasi bungkus untuk makan malam hari ini. Kami berdua melahapnya, tentu aku yang paling cepat karena sejak pulang dari tempat kerja Sari perutku sama sekali tak terisi nasi. Usai makan, Sari memeberiku angin segar kalau di Manado,pabrik tekstil tempat pamannya bekerja dibuka lowongan pekerjaan yang menampung 200 karyawan muda. Karena gajinya bisa dibilang lumayan, Sari akan pindah bersamaku kesana. Syukur Alhamdulillah, Alloh SWT mengabulkan do’aku. Agar nantinya nasibku sesial tadi siang, kuputuskan untuk member kabar orang rumah, mereka pasti khawatir.
“halo, Assalamualaikum mbak” sahutku ketika panggilanku diterima
“Wassalamualaikum, alhamdulillah! Akhirnya hapemu nyala yen! Kamu dimana? Mbak jemput ya?”
“ndak usah mbak, aku baik-baik saja. Bilang sama Bapak Ibu yaa mbak, maaf sudah buat malu Bapak Ibu didepan besan. Aku tidak mau dinikahkan sama laki-laki yang menghina keluarga kita.”
“yasudahlah yen, pulanglah! Kami carikan laki-laki lain! Kamu pulang yaa?”
“ndak mbak, yeyen masih 15taun, perjalanan yeyen masih panjang. Yeyen akan pulang kalo yeyen sukses. Salam Bapak Ibu yaa mbak, Yeyen minta do’anya! Besok siang Yeyen berangkat ke Manado”
“aku turut mendoakanmu dik!”
“makasih mbak, wassallamualaikum”
“walaikumsalam” tuttt tuttt---suara telpon dimatikan dan air mata membasahi pipiku. Sari memelukku sambil menenangkan, setelah beberapa saat kami berpelukan, Sari menyuruhku untuk berkemas karena besok siang kami harus sudah menyeberang dari pelabuhan.
Siang itu juga kami berangkat melalui jalur darat, perjalanan memakan waktu tiga hari untuk sampai di Manado. Cukup melelahkan. Sampai disana aku dan Sari dijemput oleh keponakan Sari. Ternyata Manado merupakan kota yang cukup indah tapi disini aku dan sahabatku harus mengadu nasib untuk sebuah pengakuan! Keesokan harinya, Aku, Sari dan Pamannya bersiap-siap untuk ke tempat kerja pamannya. Hari ini merupakan hari yang mendebarkan untuk kami, Bismillahirrahmannirrohim! Kuucap basmalah berulang-ulang agar keberuntungan menyertaiku. Beberapa jam kami menunggu hasil pengumuman, dan akhirnya aku serta Sari diterima. Esok hari kami harus sudah bekerja apapun alasannya.
Hari berganti Minggu, Minggu berganti Bulan, dan Bulan berganti Tahun. Uang gajiku sebagian aku gunakan untuk makan, pakaian dan kebutuhan lainnya. Sisanya aku tabung. Tepat dua tahun aku bekerja disini, uang tabungan yang aku kumpulkan aku rasa sudah cukup. Meskipun tidak banyak, tapi aku sudah kangen rumah. Dua tahun sengaja aku tak memberi kabar, sekarang sudah waktunya aku kembali kerumah. Tapi sebelumnya aku akan meminta cuti agar atasanku tak menganggapku kabur dari pekerjaan. Atasanku orang yang baik, seorang wanita paruh baya yang tak punya anak perempuan. Aku tak tau jelas tentang anaknya, yang ku tau dia sangat menyukai pekerjaanku, dia bilang aku pekerja keras. Saking sukanya aku sudah naik pangkat dua kali dalam dua taun. Hari ini juga aku akan minta ijin padanya. Setelah itu aku akan menelpon kakakku, Yeni untuk menjemputku di bandara. Aku sudah tak sabar bertemu mereka.
“Bu alui, maaf mengganggu. kira-kira pesanan kain grosiran untuk dua minggu kedepan ada tidak ?”
“Oo hanya minggu ini yen! Juga cuman 250 lembar saja! Ada apa?”
“rencananya saya mau ke pulang ke Jawa bu! saya mohon ijin dua minggu saja. Bolehkah?”
“ apa harus minggu ini kamu pulang yen? Apa bulan depan tidak bisa?”
“ saya sudah dua taun tidak pulang Bu! saya kangen rumah.”
“Baiklah kalo memang pengenmu begitu! Ini ada sedikit titipan saya untuk Ibumu! Sampaikan salam saya”
“aduh Bu Alui, terima kasih banyak”
Setelah berpamitan pada Bu Alui, aku berpamintan pada Paman dan Sari, kali ini aku kembali ke Jawa sendirian tanpa Sari. Aku menempuh jalur udara menuju Surabaya, kali ini hanya membutuhkan waktu dua jam saja! Pukul 13.00 aku sampai di Juanda. mbak Yeni sudah menungguku bersama anak dan suaminya. Tasya, anak mbak yeni sudah besar sekarang dia sudah bisa berlari. Setengah berlari mbak Yeni menuju ke arahku sambil meraihku tenggelam dalam pelukannya! Suasana haru memaksaku menitikkan air mataku. Aku ingin segera pulang ke Bojonegoro. Aku ingin melihat Bapak Ibu, dan memohon ampun karena telah membuat mereka malu dua tahun lalu.
Di tengah perjalanan, aku ngobrol ngalor-ngidul sama mbak Yeni, mulai dari Tasya si kecil sampai kehidupan keluarga setelah aku kabur dari rumah. Bapak meninggal setaun yang lalu, Bapak meninggal karena sakit Jantungnya kata mbak Yeni, tapi menurutku Bapak meninggal karena memikirkanku. Aku tahu Bapak sangat sayang padaku. Maafkan aku Bapak! Tangisku pecah lagi didalam mobil pak Lurah yang disewa mbak Yeni untuk menjemputku. Perasaan bersalah semakin menghantuiku, tapi mbak Yeni coba menghiburku dan membahas yang lain. Aku mencoba tegar, dan menyerahkan kuitansi pembayaran Motor yang aku beli untuk Bapak, namun karena Bapak sudah tidak ada mungkin bisa dipakai Ibu atau Mbak Yeni nantinya.
“Mbak, ini kuitansi sama BPKBnya. Nanti sore motornya datang!”
“Alhamdulillah Yen! Hebat Kamu 2 taun udah bisa beli motor”
“ini berkat Doa Bapak Ibu sama Mbak Yeni”
Perjalanan Surabaya-Bojonegoro tak terasa lama karena pembicaraan kami. Sesampainya didepan rumah, aku tak sabar dan langsung turun dari mobil. Ibu sudah duduk di depan rumah bersama kerbat yang lain. Air mataku tiba-tiba mengalir deras dan spontan aku berlari kearah Ibu. Tanpa aku sadari, mobil Truk pengangkut beras sudah berada beberapa meter didekatku. Suara klakson dan jeritan orang disekitarku bercampur sehingga aku tak mendengar apapun! Dan tiba-tibaaa……
BRAAAAKKKKKKK! Tubuhku terpental entah berapa meter dari jalan, sekujur tubuhku terasa dingin dan sakit. Aku tak bisa melihat siapapun. Gelap! Dan bibirku terasa kelu. Sesaat kemudian tubuhku diangkat seseorang, suara tangisan menggema disekitarku. Tapi yang paling kukenal adalah belaian dan tangisan Ibu. Kupaksakan bibirku mengatakan sesuatu dan meraih tangannya.
“Ibuuuu! Maafkan aku telah mengecewakanmu. Aku pergi! Sekarang aku kembali mohon maafmu!’
“iyaaa nak, ibu dan Bapak sudah memaafkanmu! Ibu yang salah”
“ssssstt! Jangan seperti itu bu! aaarrggghhh maafkan Yeyen yaa bu! Yeyen Pamit! Laaa illaha illalloh muhammaddar rosululloh..aaarrrggghhh…!” Kemudian badanku terasa sangat ringan. Yang tadinya gelap kini bermunculan cahaya terang di sekitarku, ada ibu di seberang sana yang melambai sambil tersenyum. Tapi badanku melayang menjauh dari Ibu. Dan ku dapati ayah berada di sampingku menggenggam tanganku dengan hangat bersamanya-end!
Label: fiksi*
0 Comments:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)