Kamis, Juni 30, 2011

ini cerita tua! hehe:)

Vespa Bututku


cethuk’ cethuk’ cethuk’ terdengar suara burung nuri yang mematukkan paruhnya pada jendela kaca kamarku, lagi-lagi membuatku risih dan segera beranjak dari kasurku. “aaaarrrrrrgggghhh ! brisik !” umpatku. Kulihat lagi jendela kamarku, Astaga! Hari sudah terang, Lagi-lagi aku terlambat bangun. Tanpa berpikir panjang aku segera menuju kamar mandi, menyulap baju tidurku menjadi seragam sekolah yang kuanggap cukup rapi. Lima menit kemudian aku siapkan segala kebutuhan sekolahku hari ini dan segera kutunggangi motor kesayanganku itu.

Motor keluaran tahun 1927 itu sekarang telah jadi atas namaku. Mungkin bagi teman-temanku motorku seperti rongsokan besi yang harganya tak lebih dari lima ratus ribu tapi menurut keluargaku, ini barang terantik di rumahku. Motorku adalah satu-satunya peninggalan Oma yang masih tersisa. Dengan spion bulat disisi kanan-kiri stank pengendalinya dan body motor yang tergolong masih mulus, kualitas mesinnya juga tidak kalah dengan sepeda motor-matik jaman sekarang. Uniknya, di bagian kiri body digunakan bagasi untuk menyimpan barang bawaan dan tertera nama keluargaku ‘Rushton’. Nama keluarga dari nenekku Jusmine Rushton, Nenekku seorang nonik Belanda yang jatuh cinta pada kakekku, yang saat itu hanya seorang pemilik tanah perkebunan yang punya banyak hutang pada VOC. Kakek mendapat banyak ancaman dari keluarga Rushton karena mereka menganggap kakek seorang manusia rendahan yang takpantas untuk nenek. Kakek manghabiskan banyak hartanya untuk keluarga Rushton, tapi tetap saja tak direstui. Tidak sampai disitu perjuangan kakek, kakek tetap mencintai nenek dan berusaha mendapatkan restu dari keluarga nenek. Dan akhirnya mereka menikah diam-diam dan kakek membawa nenek pergi ke Jogja. Setelah melahirkan ayah, Eduard Rushton  nenek meninggal. Kata ayah, kakek membawanya ke Surabaya agar keluarga Rushton tidak dapat melacak keberadaannya. Ayah diganti namanya menjadi Edy. Saat ayah menikah dengan bunda selang beberapa hari kakek meninggal. Ia berpesan bila ayah memiliki keturunan agar tetap mewariskan nama rushton pada anak-anaknya dan memberi warisan sepeda motor butut ini untuk ayah. Dan kini motor ini sampai di tanganku setelah ayah meninggal Karena bunda tidak bisa mengendarai sepeda motor. Sedangkan motor milik ayah sendiri terpaksa harus bunda jual untuk modal salon bunda. Yah, bisa dibilang untuk memenuhi kebutuhan kami.
            Tetttt!tetttttt! tettttt! bunyi klakson saling bersautan, kulihat jam tangan tua dari bunda, waktu menunjukkan pukul 06.45. kupacu motorku lebih cepat. Dan sampainya di jalan seberang sekolah kulihat gerbang sudah tertutup rapat. Security dan Guru ganjen itu sedang bertugas hari ini, aku berharap dia punya mood yang baik hari ini.
            “ ehhmmm, why are you late, pani?” guru ganjen itu angkat bicara dengan gaya medhoknya
            “Sorry sir, Mymom hospitalized. So, I must visited her for a moment”
            “I’m Sorry to hear that. It’s the thirdth you have late. Don’t be late again!”
            “yes sir, I’m sorry”
            “oyeeaaa. At the first break-time. Come to teacher room, please! I’ll tell you about something important”
            “ yes sir, may I enter to the class?”
            “yes please !”
            Kutuntun motor antikku menuju parkiran, sambil berfikir kenapa tadi aku berbohong pada guru ganjen itu? Toh, dia jua nggak akan brani ngasih hukuman untukku.haha! bundaku alasannya, guru ganjen itu menyukainya, awalnya saat bunda mengambil raportku kelas X dulu dan dia wali kelasku. sebenarnya bunda dan …….STEPHANI!! SETPHANI RUSHTON! Seseorang meneriakiku sekaligus membuyarkan lamunanku, kucari sumber suara itu. Nah, diseberang parkiran terlihat seorang guru fashionable yang berdiri disamping pintu kelasku. Dengan membawa laptop pinknya dan remote-infared ditangan kanannya. Tepat dibawah tulisan SBI warna biru yang menempel di papan mading sekolah yang membuatnya terlihat kontras dengan baju yang ia kenakan. Aku berlari memdekatinya dengan tampang meminta belas kasihan.
            “what are you doing there? Didn’t you enter the class? Oh, I know . did you come late again?” serangan pertanyaan yang bertubi-tubi, bahkan untuk menyelanya saja aku tak sanggup. Aku hanya bisa diam dan memasang tampang bersalah.
            “okay, where’s yourletter? and enter the class, sit down and follow myclass!”
            “thank you miss, it is!” sambil nyerahin surat terlambatku, aku masuk kelas dengan sedikit berlari aku menuju bangku nomor dua dari pojok belakang dan aku duduk mendengarkan pelajaran English for business pagi ini, pandanganku pada guru tapi pikiranku entah melayang kemana pagi ini. Sejak aku bangun, seluruh badanku terasa tidak siap untuk memulai hari. Entah apa sebabnya, aku hanya menduga karna rasa laparku yang kutahan dari tadi malam. Aku pulang dari rumah sakit pukul 11 malam, bunda  menyuruhku pulang karena besok aku harus masuk sekolah, sekaligus membawa perlengkapan bunda yang memang harus dibawa pulang. Rencananya hari ini bunda sudah boleh pulang dari rumah sakit, adikku bersamanya dan aku harus menjemputnya siang ini. Itu akhirnya biaya rumah sakitpun harus dilunasi hari ini. Tanpa sadar, kugaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tak gatal lalu tangan kananku menopang wajahku dan kuarahkan pandanganku ke arah luar kelas. Seperti mendapat wangsit, aku kegirangan dan hampir berteriak. Untungnya, Diani menegurku sebelum aku ketauan nglamun.
            “ Bule gila lo fan! Udah suka telat, tukang nglamun, miskin lagi lo! Untung aja lo pinter. Brani juga lo nglamun di kelasnya nenek peot itu!”
            “Bawel lo! Hidup gue juga bukan lo yang ngurus. Oya, thanks udah nahan gue buat ga teriak!”
            “Kenapa lo girang gitu?”
            “Doain gue dapet duit yaa hari ini, nyokap gue boleh pulang!”
            “Syukur deh! Perlu mobil gue nggak? Mumpung gue pengen berbuat baik neh!”
            “hmmm,,boooo… aaaargh!” belum sempat aku jawab pertanyaan Diani, spidol boardmarker melayang kena kepalaku, miss Na’ mendapati kami sedang ngobrol di kelasnya. Tanpa dikomando kuambil spidol tadi aku berdiri dan maju memberikan spidol itu padanya. Dia melotot padaku. Aku tahu maksutnya dan segera saja aku minta maaf padanya. Sedikit menoleh ke arah papan aku mencari tahu apa yang sedang dia jelaskan tadi. Yap! Aku dapat, keberuntungan menyertaiku lagi. Bila aku dihukum menjelaskan aku bisa menjelaskannya. Tapi ternyata perkiraanku meleset, ia menyuruhku duduk kembali.
            Baru saja aku sampai di tempat dudukku, bel istirahat berbunyi. Miss Na’ mengakhiri kelasnya dan anak-anak melemaskan otot tubuhnya yang sedari tadi tegang oleh kelasnya. Diani mengajakku ke kantin. Aku ingin menolak karena ingin berhemat, tapi berhubung perutku yang berdemo karena dari semalam belum diisi akhirnya kusetujui saja ajakannya. Namun sesampai di kantin kami berpisah karena kami punya pilihan makanan yang berbeda. Setelah mengantri beberapa saat kami bertemu kembali di meja kantin paling pojok, itu tempat kami biasa nongkrong dengan teman sekelas kami. Kantin hari ini cukup ramai dan banyak lalu lalang manusia-manusia kelaparan disekitarku, termasuk aku, tapi karna aku harus hemat, aku hanya membeli semangkuk sup dan segelas susu yang kudapat gratis dari ibu kantin. Ketika motorku dipakai adikku, Dannie. Aku sering naik bus dan bertemu dia pulang dari pasar. Seperti melihat bunda saat kulihat sosoknya. Kualihkan pandanganku pada supku, kulahap habis tanpa memperdulikan Diani yang ngocros ngalor-ngidul dari tadi. Aku masih merasa lapar! Aku berniat membeli roti lonjong isi sosis yang dijual bagian pojok kantin itu, aku tawari Diani tapi ia bilang dia malas. Akhirnya aku berjalan sendiri.
            “berapa pak?”
            “dua ribu lima ratus” jawab si bapak ketus. Setelah kubayar, kuambil rotinya dan bergumam, roti kecil gini kok dua ribu lima ratus. Mahal bener, kupandangi roti itu sambil kuberjalan menjauhi kedai roti di kantin. Tiba-tiba, seseorang menabrakku sehingga rotiku jatuh. Dengan penuh emosi aku mencari pelakunya.
            “ elo yaa yang nabrak gue?”
            “yo’opo seh mbak! Asal nuduh wae, kon iku bawur opo’o? aku kaet mau nang kene kok!” ngerasa ga terima dituduh cowok berkacamata dekatku ngomel ga karuan.
            “ yayayaaa. Sorry! Ngomongnya biasa aja dong!” kupungut lagi rotiku dan kumasukkan kedalam saku bersama HP dan dompetku. Kurasakan getaran yang berasal dari sakuku, ternyata satu panggilan masuk. Terbelalak saat membaca guru genit itu menelponku. Baru aku teringat soal kesanggupanku menemuinya saat istirahat pertama. Kutekan tombol answer.
            “ Hallo!” suara dari seberang
            “yes sir, I’m sorry. I forget to come in yourroom”
            “okey, come here quickly. Don’t forget to bring your raport. I know, yerterday you borrowed it for apply for job, right?”
            “ehmmm, yes sir! I’ll be there soon” kututup telpon genggamku. Pikiranku makin kalut, aku dalam masalah besar. Bila sekolah tau aku pinjam raport untuk melamar pekerjaan di sebuah swalayan aku bisa dikeluarkan. Bila aku tidak dikeluarkan, ada kemungkinan beasiswa yang kuterima dihentikan. Dan itu akan menambah beban orang tuaku. Belum selesei masalah keterlambatanku, belum pula aku mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit,sekarang ada lagi masalah yang kuhadapi. Oh,, Tuhan! Sambil berjalan kekelas untuk mengambil raportku aku terus mencari-cari alasan agar guru ganjen itu bisa membantu menjaga rahasia pekerjaanku di depan kepala sekolah. Sesampainya didepan ruangannya, seolah tanganku mendadak sulit untuk digerakkan. Bahkan untuk mengetuk pintu saja terasa berat.
            “Come in!” suara dari dalam mengagetkanku.
            “yes sir!” jawabku seraya masuk keruangan ber-AC itu. Nuansa coklat muda menghiasi seluruh ruangan, membuatnya terkesan adem dan nyaman. Beberapa foto tergantung di dinding, sebagian foto dengan alumnus terdahulu dan sebagian foto pribadinya saat liburan
            “mana raportmu?”Mr Cholis mengawali pembicaraan,kali ini dengan suara yang agak berbeda dari biasanya
            “ ini pak, kira-kira ada apa ya pak? Sepertinya ada sesuatu yang penting?”
            “tentu saja, coba jelaskan apa yang terjadi padamu!”
            “maksut bapak?”
            “saya tahu, kamu melamar pekerjaan di swalayan, saya juga tahu kamu ikut casting jadi model di sebuah majalah, bahkan kamu juga menjadi SPG di sebuah event? Benar kan?
            “ ya pak, tapi maaf pak sebelumnya bila saya lancang. Apakah saya salah bila punya pekerjaan selagi saya masih bersekolah disini?
            “tentu saja tidak. Tapi saya ingin tahu bagaimana belajarmu bila kamu punya kegiatan yang begitu padat diluar sekolah? Kamu ini anak pandai, sekolah bangga punya murid sepertimu. Tapi lihatlah, nilaimu turun, ini takbaik untukmu. Beasiswa sekolah apa takcukup untukmu?”
            “maaf pak, saya berusaha memperbaiki nilai saya semester ini dan kedepannya. Saya akan mengurangi kesibukan di luar sekolah. Saya tahu beasiswa ini sangat penting bagi keluarga saya”
            “saya sangat paham” kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya kemudian suasana ruangan cream itu mendadak hening, aku tertunduk dan mencoba mencari cara agar aku tetap mendapat beasiswa dan tetap bekerja. Saat aku berkutat dengan pikiranku, aku dikagetkan oleh tangan Mr Cholis yang menggapai pundakku. Kuangkat mukaku perlahan untuk memandangnya, wajah yang teduh dan seolah mendamaikanku tak seperti biasanya.
            “baiklah, kembalilah ke kelasmu. Pelajaran akan dimulai sebentar lagi”
            “Oke sir!” seraya bangkit dari kursi. Aku bergegas menuju kelas. Pelajaran bergati pelajaran sampai akhirnya bel pulangpun berdering. Seperti kuburan yang berubah menjadi pasar dalam sekejap. Suasana berubah menjadi sangat ramai, bahkan hampir penuh sesak lautan siswa. Aku hendak bergegas mengambil motor dan segera ke studio untuk mengambil gaji. Kutunggangi motor kesayanganku menuju studio untuk mengambil gajiku, meskipun ini terlalu awal untuk mengambil gaji tapi semoga saja Mas Slaem mau mengerti keadaanku sekarang ini.
            Sesampainya di Studio, aku malah bertemu Mbak Ratna. Biasalah kalo model sama laki-laki tajir ya ngikut aja kemana-mana.
            “Hai Mbak! Tau Mas Slaem nggak?”
            “ Ngapain lo tanyain dia?”
            “Ah, nggak mbak cuman ada perlu aja!”
            “lagi OTW kesini katanya, mau gue ajak keluar dia! Lo perlunya lama nggak?”
            “nggak kok mbak” tiba-tiba suara mobil berhenti yang diiringi bunyi klakson didepan pintu yang nggak jauh dari jalan raya. Karena memang studionya berjarak satu meter saja dari jalan.
            “Slaem, Fani ada perlu sama eloo tuh! Temui aja bentar.”
            “Mau ambil gaji dulu fan? Kan gue udah ngomong di telpon tempo hari kalo elo ga bisa ambil duluan. Kan jobnya belum elo lakoni”
            “tapi mas, gue butuh banget nii. Nyokap gue keluar dari RS sore ini, gue harus nglunasi sore ini juga. Separonya dululah mas, gue butuh banget ini.”
            “yaa sorry banget fan, gue juga nggak ada duit, kalo ada gue malah seneng banget bisa bantu elo. Duit dari si Boss juga belum ada fan”
            “ ehmm, ya udah deh Mas, makasih! Gue cabut dulu.” Pikiranku jadi makin nggak karu-karuan kala itu. Tapi aku inget masih satu cara lagi yang belum kulakukan supaya aku bisa dapet uang.
            Sebelum kutunggangi motor Rushton tuaku, aku sengaja mengirim sms pada bunda untuk ijin pergi ke pegadaian dulu sebelum pergi menjemputnya. Kupakai helm tuaku dan kupercepat laju rushton tua itu. Semula aku berniat menjual rushton tua ini, namun setelah kupikir-pikir bila nanti kujual aku tidak akan bisa mendapatkan motor tua ini lagi. Akhirnya, aku mencoba untuk menggadaikannya saja. Jadi dalam tempo tertentu, mungkin aku sudah bisa menebus  dan memakainya lagi.
            Sesampainya Di gerbang pegadaian hatiku bergedup, aku coba kuatkan kakiku untuk tetap melangkah dan memantapkan hati atas keputusannku. Karena aku sudah berumur 17tahun semua surat perjanjian gadai itu sudah boleh kutandatangani. Hatiku berdesir ketika penaku menggores kertas perjanjian. Seperti kehilangan ayah untuk kedua kalinya, air mataku leleh setelah uang empat juta didalam kantong coklat tua itu diberikan padaku oleh petugas pegadaian. Dengan teliti aku periksa uangnya, setelah semua beres dan aku mengerti bagaimana aturan mainnya, aku menyetop taksi untuk menjemput bunda di rumah sakit
            Tepat pukul 5 sore aku sampai di rumah sakit, kutemui bunda dan segera menyelesaikan masalah administrasi dengan pihak rumah sakit. Alangkah terbelalaknya aku saat tertera pundi-pundi rupiah yang harus aku bayar tak cukup dengan uang yang baru saja aku dapatkan, mataku terasa hangat serasa ingin menumpahkan air didalamnya tapi aku menahannya. Spontan, aku minta ijin pada pihak administrasi untuk membicarakan pada bunda sebentar. Saat kubalik badanku untuk menemui bunda, Mr Cholis sudah ada disampingku di meja administrasi, aku terheran tapi mulutku sontak bertanya
            “Ngapain Sir disini ?”
            “nggak papa, mau bayar biaya rumah sakitnya calon istri saya! Dia sakit disini juga”
            “wah, kebetulan sekali sir! Bagaimana keadaan calon istri sir ?”
            “alhamdulilah, sudah membaik. Bagaimana bundamu ?”
            “baik juga sir, bunda sudah boleh pulang sore ini. Baiklah sir, silahkan! Saya harus menemui bunda sebentar!”
            “okey” tanpa curiga dan sedikit malu aku meninggalkan Mr cholis di meja administrasi, tak menyangka guru yang kuanggap genit itu sudah punya calon istri, dan Ia tidak genit pada dasarnya hanya saja perhatian pada murid-muridnya yang berstatus siswa SMA itu dianggap perhatian sperti anak SD.
            Saat kutemui bunda, hatiku goyah untuk bilang kalau aku telah menggadaikan motor antiku untuk biaya rumah sakit dan uangnya masih tidak cukup untuk biaya obat bunda selama perawatan. Aku takut beliau sedih. Bunda memandangku heran,bunda tahu aku menahan tangisku sedari tadi, belum sempat ia bertanya tiba-tiba pegawai administrasi setengah berlari menghampiriku dan menyerahkan kwitansi pembayaran rumah sakit dan mengucapkan terima kasih. Aku heran apa yang terjadi, hendak aku bertanya padanya namun tangan hangat itu meraih pundakku, Mr Cholis mataku kembali terbelalak.
            “Bundamu itu calon istriku, pani! Sudikah engkau menerima aku sebagai ayah barumu?” tanpa aku bisa menjawab pertanyaan itu, air mataku meleleh dan kupeluk sosok teduh ayah baruku itu. Bunda dan adikku ikut berhambur dalam pelukan keluarga baruku. Ternyata bunda merahasiakan kedekatannya dengan Mr Cholis selama ini, Aku baru tersadar kalau beliau sudah memperhatikanku sejak aku masuk sma. Mr Cholis tertarik dengan kecerdasanku awalnya dan mulai perhatian padaku sampai akhirnya dekat dengan bunda. Ahh! Aku merasa ayah berenkarnasi dalam sosok Mr Cholis.
            Kami menuju taksi dan segera pulang kerumah karena kondisi bunda belum sembuh total. Namun Mr Cholis tidak satu taksi dengan kami karena ada urusan yang belum Ia selesaikan. Sesampainya dirumah aku dikejutkan lagi motor antikku yang baru saja aku gadaikan sudah terparkir didepan gerbang rumah dengan pita warna coklat kesukaan Mr cholis. Ia membuatku terkesan. Terlampir surat warna cream diatas jok motor yang bertuliskan “HIDUP INI TIDAKLAH MUDAH, NAMUN  JANGAN BIARKAN KESULITAN MEMBUATMU BERHENTI BERJUANG UNTUK HIDUP”

0 Comments:

Post a Comment